Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2017

SINOPSIS

KABUT PAGI DI BUKIT LAWET Sudah seminggu Rubiah berlibur ke desa. Ia tinggal bersama bibinya dalam suasana damai di lereng bukit Lawet yang permai. Warga desa yang ramah, saling berkunjung, saling menolong, membuat Vena seperti berada dalam alam yang berbeda. Kedamaian itu tiba-tiba berubah ketika   seorang pemuda bernama Angin mendekatinya dan mencoba mencari perhatiannya. Dengan cara-cara yang aneh, Angin mencoba mencari perhatiannya. Menawarkan bantuan, mengasih buah durian, dan lain-lain yang menurut Rubiah berlebihan. Ketika ia ceritakan pada Bekti, sepupunya, ia lebih kaget lagi karena menurut Bekti tidak ada pemuda di desa ini yang bernama Angin. Sampai akhirnya pada suatu pagi, Rubiah terkesima. Di bukit sebelah desanya, ia meliha Angin sedang duduk di atas sebuah batu besar. Wajahnya bercahaya dan kabut putih di sekelilingnya membuat ia seperti terapung. Ia menyapa Rubiah : Assalamualaikum. Terima kasih kau telah kembali. Rubiah tak bisa berkata-kata. Ia lemah
KERIS Purba mendaptkan sebilah keris sebagai kenang-kenangan dari kakeknya di desa. Keris itu sebenarnya akan diberikan kepada ayahnya, namun karena ayah Purba   sudah meninggal, ialah yang harus menerimanya. Ia sebenarnya menolak pemberian itu karena   tidak tahu buat apa benda seperti itu di jaman seperti sekarang. Sala-salah berurusan dengan polisi karena membawa senjata tajam.   Namun ibunya menyuruh menerimanya, agar   hati kakek senang.   Purbapun akhirnya menerima keris yang dibungkus dengan kain putih/kafan itu. Ia sempat gemetaran ketika ketika mendengar pesan kakek bahwa keris ini adalah warisan dari nenek-moyang mereka yang merupakan salah satu pasukan Diponegoro.   Sesampai di kota,   Purba gelisah dengan keris itu. Ia sering bermimpi seperti melihat perang Diponegoro yang maha dasyat itu. Seorang perajurit yang gagah berani memandangnya dengan tajam sambil berteriak agar Purba mau merawat tanah Jawa dan isinya. Purba berkeputusan mau menyerahkan keris itu kepa